Sebuah kejadian mengejutkan terjadi di Cengkareng, Jakarta Barat, di mana seorang warga bernama Sonia Limous, berusia 28 tahun, didenda oleh PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebesar Rp 33 juta. PLN denda pelanggan ini diberlakukan atas dugaan penggunaan kilowatt per hour (KwH) meter dengan segel palsu di rumahnya yang terletak di Jalan Perumahan Citra Garden, Cengkareng. Kejadian ini bermula ketika petugas PLN hendak mengganti KwH meter di rumah SL pada tanggal 18 Agustus 2023. Keputusan PLN denda pelanggan ini membuat SL merasa bingung dan terkejut, mengingat meteran listriknya selalu diperiksa oleh staf PLN sejak dia tinggal di sana.
Sonia, melalui akun Twitter pribadinya @sonialimouss pada Jumat (13/10/2023), dengan jujur mengungkapkan kebingungannya terkait tuduhan dan besaran denda sebesar Rp 33 juta yang dibebankan padanya. Ia mencatat bahwa semenjak tinggal di kediamannya, meteran listriknya selalu rutin diperiksa oleh staf PLN. Dalam cuitannya, Sonia menulis, “Hi @pln_123, rumah saya dituduh menggunakan segel ilegal oleh PLN UP3 Cengkareng dan wajib bayar denda Rp 33 juta. Seumur-umur yang memeriksa meteran sejak kami tinggal di rumah ini dari dulu adalah staff PLN.”
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Awal Mula PLN Denda Pelanggan
SL mengungkapkan bahwa ayahnya, yang berinisial AS dan berusia 66 tahun, mendapat tekanan dari PLN untuk menandatangani surat utang sebesar Rp 33 juta dengan alasan adanya kecurangan. AS menjelaskan bahwa petugas PLN menemukan perbedaan antara mesin dan segel yang ada di KwH meter saat hendak menggantinya. AS berpendapat bahwa segel yang mereka gunakan selama ini telah dicek oleh teknisi PLN dan tidak ada masalah. Namun, PLN bersikeras bahwa mesin KwH meter AS sudah dimodifikasi, dan salah satu timah di mesin tersebut telah disolder ulang.
AS yakin bahwa mesin KwH meter yang telah dimodifikasi seharusnya akan terbakar, tetapi teknisi laboratorium mengatakan bahwa mesin tersebut masih dalam kondisi wajar. Namun, meskipun tidak ada bukti nyata kecurangan, petugas PLN tetap memaksa AS untuk membayar denda sebesar Rp 33 juta. AS merasa tertekan dan akhirnya menandatangani surat utang tanpa ada bukti konkret yang menunjukkan bahwa dia bersalah.
Selain itu, AS tidak diberikan berita acara pengujian laboratorium terhadap mesin KwH meter rumahnya, yang merupakan hal yang aneh. AS merasa bahwa petugas PLN harus memberikan salinan berita acara sebagai bukti konkret, tetapi permintaannya ditolak, dan dia diminta untuk langsung menandatangani surat utang. Ini menciptakan ketidakpastian dan ketidakadilan dalam kasus ini.
PLN Akui Sudah Sesuai Prosedur, Pelanggan Tetap Harus Bayar Denda
PLN, melalui Manager UP3 Cengkareng, Faisal Risa, mengklaim bahwa mereka telah mengikuti prosedur yang benar dalam menindak pelanggan yang diduga menggunakan KWh meter dengan segel palsu. Petugas PLN menemukan kelainan pada kWh meter dan segel saat pemeriksaan di rumah pelanggan, dan hasil pengujian di laboratorium juga mendukung adanya pelanggaran tersebut. Namun, AS berpendapat bahwa tidak ada bukti yang mendukung klaim PLN ini.
Selain itu, PLN juga menegaskan bahwa dalam kasus pelanggan yang terbukti menggunakan Kwh meter dengan segel palsu, mereka harus membayar denda sesuai ketentuan yang berlaku, tanpa mempertimbangkan seberapa sering mereka telah diperiksa oleh petugas PLN. Hal ini kemudian memunculkan pertanyaan mendalam mengenai keadilan dalam hal ini, apakah pelanggan yang jujur dan mematuhi aturan harus mengalami ketidakadilan semacam ini. Adakah mekanisme lain yang dapat memberikan perlindungan terhadap hak-hak mereka dalam kasus semacam ini? Semua pertanyaan ini menyoroti perlunya keterbukaan dan transparansi dalam penanganan kasus PLN denda pelanggan, serta perlunya melindungi hak-hak pelanggan secara adil dan berkeadilan.
Dalam kasus PLN denda pelanggan Cengkareng, pelanggan AS telah membayar uang muka sebesar 30 persen dari total denda sebesar Rp 33 juta, dan sisanya akan diangsur. Namun, kasus ini tetap menciptakan ketidakpastian dan keraguan bagi AS dan pelanggan lain yang mungkin mengalami situasi serupa.
Pandu, juru bicara PLN Unit Induk Distribusi (UID) Jakarta, berpendapat bahwa AS telah melakukan kesalahan dengan mengganti Kwh meter pada tahun 2016 tanpa melalui PLN. Namun, PLN baru mengambil tindakan pada tahun 2023. Pandu juga menekankan pentingnya pelanggan untuk tetap taat pada aturan, meskipun tidak selalu ada pemeriksaan oleh petugas PLN. Namun, hal ini masih memunculkan pertanyaan apakah tindakan PLN dalam kasus ini benar-benar adil dan sesuai dengan prosedur yang benar.
Kasus PLN denda pelanggan mengandung makna yang dalam tentang perlunya transparansi yang jelas, penyediaan bukti konkret yang kuat, dan pengamanan serta perlindungan hak-hak pelanggan dalam situasi serupa. Di tengah ketidakpastian yang mungkin dapat merugikan pelanggan yang berpotensi menghadapi kasus serupa di masa depan, penting bagi semua pihak terlibat untuk bersatu dan bekerja sama dalam rangka menyelesaikan kasus ini dengan adil dan tuntas, sehingga dapat memberikan keadilan sejati bagi semua pihak yang terlibat.