Dalam beberapa tahun terakhir, kejahatan perang terus mengguncang beberapa belahan dunia, dan salah satu sorotan terbesar saat ini adalah tindakan Israel di Jalur Gaza. Pelanggaran perang Israel pun terjadi hampir setiap hari hingga saat ini. Serangan-serangan yang dilakukan oleh Israel dalam kurun waktu sebulan terakhir menimbulkan kehancuran massal dan menewaskan banyak warga Palestina.
Tuduhan kejahatan perang terhadap Israel tidak hanya berasal dari pihak Palestina, tetapi juga mendapat tanggapan tegas dari sejumlah negara, termasuk Spanyol. Ione Belarra, Menteri Hak Sosial Spanyol, secara terbuka menyarankan agar Israel diadili di Mahkamah Pidana Internasional atas tuduhan kejahatan perang. Dalam sebuah video yang dibagikannya, Belarra menyampaikan bahwa Uni Eropa dan Amerika Serikat ikut terlibat dalam kejahatan perang yang dilakukan Israel.
Pelanggaran Perang Israel: Rudal Rumah Sakit
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Pada pertengahan Oktober, Israel merudal Rumah Sakit Baptis Al-Ahli di Gaza. Serangan tersebut dianggap sebagai “kejahatan perang” oleh Wakil Ketua Dewan Keamanan Rusia, Dmitry Medvedev. Lebih dari 500 orang tewas dalam serangan udara Israel di rumah sakit tersebut.
Dr. Enny Narwati, pakar Hukum Humaniter Internasional dari Universitas Airlangga, menyatakan bahwa motivasi Israel dalam melakukan kejahatan perang di Gaza belum diketahui secara pasti. Namun, ia mencurigai bahwa tindakan tersebut mungkin didorong oleh kepentingan militer dan sebagai balasan atas serangan Hamas sebelumnya.
Menurut Enny, dalam konflik bersenjata, prinsip-prinsip seperti military necessity, distinction, humanity, dan proportionality harus dijunjung tinggi. Objek sipil, termasuk penduduk dan fasilitas kesehatan, seharusnya dikecualikan dari sasaran serangan. Namun, serangan Israel yang mengakibatkan kerusakan massal di fasilitas kesehatan dan sekolah di Gaza menunjukkan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip Hukum Humaniter Internasional.
Enny juga menyoroti aturan penggunaan senjata perang, di mana senjata yang digunakan seharusnya tidak melanggar hukum dan mengacu pada prinsip kemanusiaan. Namun, pelanggaran perang Israel yang menghantam fasilitas sipil dan menyebabkan banyak korban jiwa menunjukkan ketidakpatuhan terhadap aturan ini.
Rekonsiliasi konflik menjadi satu-satunya jalan keluar yang mungkin. Gencatan senjata atau ceasefire, meskipun tidak permanen, dapat memberikan ruang untuk menjajaki penyelesaian sengketa Israel-Palestina. Namun, hal ini harus diawasi dengan ketat, dan mekanisme penegakan hukum serta sanksi perlu diterapkan untuk memastikan kepatuhan pihak yang terlibat.
Pentingnya penegakan hukum internasional dalam menghadapi pelanggaran perang Israel juga disoroti oleh aksi akbar aliansi rakyat Indonesia bela Palestina. Tuntutan agar Israel diadili di Mahkamah Internasional atas kejahatan perang menjadi bagian dari desakan internasional untuk memastikan pertanggungjawaban atas tindakan yang merugikan kemanusiaan.
Dalam menghadapi situasi ini, Kepala Jaksa Penuntut di Mahkamah Pidana Internasional, Karim Khan, telah mengumumkan bahwa timnya tengah melakukan penyelidikan menyeluruh terhadap setiap kejahatan yang dilakukan baik oleh Israel maupun Hamas di wilayah Palestina. Meskipun upaya penyelidikan ini menunjukkan komitmen untuk membawa kebenaran ke permukaan, kenyataannya, menghadirkan keadilan sejati dan menyelesaikan konflik yang telah berlangsung bertahun-tahun tetap menjadi tantangan besar yang perlu diatasi.
Pelanggaran Perang Israel Hancurkan Tempat Sipil, Bahkan Tempat Ibadah dan Universitas
Mengacu pada hukum internasional yang dirilis oleh PBB, menyerang fasilitas kesehatan merupakan pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa 1949. Rudal Israel yang menghantam Universitas Al-Azhar dan sekolah al-Fakhoora yang dikelola oleh UNRWA di Jalur Gaza adalah contoh konkret dari serangan-serangan yang melanggar hukum internasional. Laporan yang mencatat lebih dari 102 fasilitas kesehatan hancur dan puluhan tenaga kesehatan tewas menunjukkan dampak tragis dari tindakan militer yang tidak membedakan antara militer dan sipil.
Berdasarkan laporan Databoks, yang mengutip Badan Pusat Statistik Palestina (PCBS), periode antara 7 Oktober hingga 6 November 2023 menjadi saksi kehancuran signifikan di Palestina akibat serangan Israel. Menurut data tersebut, tidak kurang dari 160 bangunan sekolah Palestina dilaporkan hancur dalam rentang waktu tersebut sebagai dampak langsung dari serangan militer Israel. Tidak hanya itu, 88 bangunan yang digunakan sebagai kantor pemerintahan Palestina juga ikut terkena dampak serangan serupa.
Selain dari infrastruktur pendidikan dan pemerintahan, serangan tersebut juga menyasar bangunan rumah sakit, dengan 25 rumah sakit melaporkan mengalami kerusakan yang signifikan. Bahkan, tempat ibadah seperti masjid dan gereja tidak luput dari serangan ini, dengan 55 masjid dan 3 gereja dilaporkan hancur akibat aksi militer Israel.
Melampaui angka-angka yang mencengangkan tersebut, PCBS juga memperkirakan bahwa jumlah rumah yang mengalami kerusakan mencapai 220 ribu unit, sementara 40 ribu unit rumah dilaporkan hancur total. Selain itu, dampak destruktif serangan ini juga dirasakan pada bangunan lainnya, dengan sekitar 8 ribu unit bangunan lainnya melaporkan kerusakan yang cukup serius.
Dengan kondisi konflik yang semakin rumit, peran komunitas internasional, organisasi hak asasi manusia, dan lembaga-lembaga penegak hukum menjadi sangat penting untuk mengatasi pelanggaran perang Israel. Gencatan senjata harus diikuti oleh upaya serius untuk mencapai rekonsiliasi dan penyelesaian sengketa yang berkeadilan. Adanya Mahkamah Internasional sebagai forum untuk menuntut pertanggungjawaban pihak yang terlibat menjadi salah satu langkah penting untuk menciptakan perdamaian yang berkelanjutan di kawasan tersebut.