Malaysia baru-baru ini mengambil langkah kontroversial dengan melarang peredaran buku berjudul “When I Was A Kid 3” karena diduga hina ART RI (Asisten Rumah Tangga Republik Indonesia). Kebijakan ini diputuskan oleh Kementerian Dalam Negeri Malaysia pada tanggal 15 September berdasarkan Undang-Undang (UU) Percetakan dan Publikasi tahun 1984 pasal 1 ayat 7. Menurut Undang – undang tersebut, semua bentuk pencetakan, impor, produksi, reproduksi, penerbitan, penjualan, peredaran, distribusi, atau publikasi yang bisa merugikan moralitas dilarang dengan tegas di seluruh Malaysia.
Ketika kabar larangan ini mencuat, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (Kemlu RI) segera memberikan tanggapannya. Juru bicara Kemlu RI, Lalu Muhammad Iqbal, menyatakan apresiasi terhadap respons pemerintah Malaysia yang telah melarang buku tersebut beredar di negaranya. Dia menekankan pentingnya menjaga etika dan martabat manusia dalam pendidikan, terlepas dari apakah orang Indonesia disebut dalam buku tersebut atau tidak. Menurutnya, mengajarkan anak-anak bahwa pekerja adalah “monyet” adalah pendekatan yang sangat tidak edukatif dan merendahkan martabat manusia.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Apresiasi Kemlu RI untuk Pemerintah Malaysia
Lalu Muhammad Iqbal, juru bicara Kemlu RI, juga dengan tegas menegaskan bahwa pemerintah Indonesia sangat mengapresiasi dan menghormati keputusan yang diambil oleh pemerintah Malaysia dalam melarang buku yang diduga hina ART RI tersebut untuk beredar di negara mereka.
Tindakan ini sesungguhnya mencerminkan komitmen serius dari pihak Malaysia dalam menangani berbagai isu yang terkait dengan para pekerja migran Indonesia (PMI) yang bekerja di negara tetangga tersebut. Hal ini juga memberikan sinyal positif bahwa Malaysia memandang pentingnya menjaga hak-hak dan martabat para pekerja migran, termasuk mereka yang berasal dari Indonesia, sehingga dapat menciptakan lingkungan kerja yang aman, adil, dan menghormati semua individu yang berkontribusi dalam pembangunan negara tersebut.
Tak Ada Maksud Hina ART RI – Kata Cheeming Boey
Penulis buku “When I Was A Kid 3,” Cheeming Boey, juga buka suara terkait larangan ini. Boey, seorang seniman Malaysia yang saat ini tinggal di Amerika Serikat, mengungkapkan kejutannya mengetahui bahwa bukunya, yang telah dirilis sejak tahun 2014, kini dilarang oleh pemerintah Malaysia hampir satu dekade setelah pertama kali diterbitkan. Ia dengan tulus meminta maaf dan menyatakan bahwa larangan tersebut mungkin disebabkan oleh salah tafsir atas isi bukunya.
Menurut Boey, bukunya bukanlah niat untuk merendahkan atau hina ART RI melainkan untuk memuji kecepatan mereka. Salah satu bagian kontroversial dalam buku tersebut menceritakan ayahnya yang ingin menunjukkan betapa cepatnya ART asal Indonesia bisa memanjat pohon kelapa. Ayah Boey menggunakan perumpamaan, mengibaratkan ART tersebut seperti monyet yang mahir memanjat pohon untuk memetik kelapa. Namun, Boey menjelaskan bahwa ini bukan untuk merendahkan ART tersebut, tetapi untuk mengapresiasi kemampuan mereka. Bahkan, penulis ini mencoba sendiri memanjat pohon dengan kecepatan yang sama, dan hasilnya memang mengejutkan.
Pelarangan buku ini juga menimbulkan pertanyaan mengapa larangan ini baru muncul setelah hampir satu dekade buku tersebut beredar dan populer di pasar. Boey menjelaskan bahwa setelah bukunya sukses, dia sering diundang menjadi pembicara di sekolah-sekolah tanpa adanya protes atau masalah serupa.
“Saya telah fokus pada karir dan energi saya untuk kemajuan Malaysia, menjunjung tinggi budaya kami, dan yang terpenting, menginspirasi generasi berikutnya,” kata Boey, menunjukkan niat baiknya. Dia menambahkan bahwa tidak pernah ada niat untuk menyinggung pihak manapun.
Larangan buku yang diduga hina ART RI ini sebagian besar bermula dari protes yang dilakukan oleh sejumlah warga Indonesia yang menamakan diri mereka “Corong Rakyat” pada bulan Juni. Demonstrasi ini digelar untuk memprotes komik yang mereka anggap merendahkan pekerja migran Indonesia. Demonstran berkumpul di luar Kedutaan Malaysia di Jakarta pada tanggal 26 Juni 2023, menuntut agar pihak berwenang menghentikan percetakan dan penjualan buku tersebut di sejumlah toko buku di Malaysia.
Malaysia telah menjadi destinasi favorit bagi para pekerja migran asal Indonesia. Saat ini, sekitar 2 juta warga Indonesia bekerja di Malaysia, dengan 200.000 di antaranya sebagai pekerja domestik. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya menjaga martabat dan menghormati pekerja migran, serta menghindari tindakan atau karya seni yang dapat merendahkan mereka.
Keputusan Malaysia untuk melarang buku yang diduga hina ART RI ini adalah langkah yang kontroversial dan mengundang perdebatan tentang batas-batas kebebasan berekspresi dan perlindungan martabat manusia dalam konteks seni dan sastra. Pemerintah Malaysia mungkin telah berusaha menghormati sensitivitas masyarakatnya terkait isu ini, dengan larangan terhadap buku yang dianggap merendahkan pekerja migran Indonesia (PMI) dari sudut pandang moralitas; namun, di sisi lain, penting untuk mempertimbangkan implikasi yang mungkin timbul terhadap aspek kebebasan berekspresi dan kreativitas seniman dalam hal ini, seiring dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai batasan-batasan yang diterapkan dalam menyampaikan pesan atau karya seni. Semoga perdebatan yang muncul dari kontroversi ini dapat membantu masyarakat secara lebih mendalam memahami pentingnya menemukan keseimbangan yang tepat antara kebebasan berbicara dan hak-hak individu dalam hal penghormatan terhadap martabat manusia.