Israel Serang Gereja di Gaza, Jemaat Menjadi Korban

- Penulis Berita

Rabu, 15 November 2023 - 16:02

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Pada tanggal 19 Oktober 2023, Israel Serang Gereja melalui serangan udara. Serangan Israel menghantam Gereja Ortodoks Yunani di Gaza, menyebabkan 17 warga Kristen Palestina tewas. Antonio Guterres, Sekretaris Jenderal PBB, melakukan kunjungan ke Semenanjung Sinai Mesir pada tanggal yang sama, berupaya memastikan aliran bantuan menuju Gaza.

Meskipun demikian, belum jelas kapan bantuan yang telah ditimbun di Mesir akan tiba di Gaza. Amerika Serikat (AS) juga masih merinci kesepakatan pengiriman bantuan melalui penyeberangan Rafah antara Sinai dan Gaza.

Bantuan Masih Tertahan Di Mesir

ADVERTISEMENT

ads

SCROLL TO RESUME CONTENT

Sebelumnya, AS mengumumkan kesepakatan untuk mengirimkan 20 truk pertama, tetapi pejabat PBB menegaskan bahwa bantuan harus bersifat besar dan berkelanjutan. Gaza, dengan populasi 2,3 juta jiwa, sebagian besar bergantung pada bantuan kemanusiaan, mengingat wilayah tersebut telah berada di bawah blokade Israel dan Mesir sejak Hamas menguasai Gaza pada tahun 2007.

Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, segera mengambil tindakan dengan terbang ke Semenanjung Sinai Mesir pada hari yang sama ketika Israel serang Gereja. Upayanya adalah untuk memastikan agar bantuan dapat segera mengalir ke Gaza. Namun, hingga saat ini, belum jelas kapan pengiriman bahan bantuan yang ditimbun di Mesir akan dimulai. Amerika Serikat juga terlibat dalam perbincangan mengenai kesepakatan pengiriman bantuan melalui penyeberangan Rafah antara Sinai dan Gaza.

Sebelumnya Israel Serang Gereja Santo Porphyrius Pada 19 Oktober 2023

Suheil Saba, yang menjabat sebagai Sekretaris Dewan Gereja Ortodoks Arab, menyaksikan secara langsung kejadian tragis sebagai salah satu dari sedikit yang selamat dari serangan tersebut. Dalam kesaksiannya, Saba menggambarkan momen mengerikan ketika sebuah roket menghantam gedung kantor dewan gereja. Akibat dari serangan itu, sembilan nyawa tak bersalah dari satu keluarga merenggang dalam sekejap, menciptakan pemandangan yang mengguncangkan. Saba sendiri tidak luput dari dampak kejadian tersebut, menderita luka di bagian kepala, punggung, dan kaki. Keberaniannya untuk berbagi pengalaman pahit ini menjadi gambaran dari keteguhan hati orang-orang Gaza di tengah keterpurukan dan keputusasaan yang melanda wilayah tersebut.

“Betapa dashyatnya pengeboman itu, seperti gempa bumi,” ujar Saba, mencerminkan ketakutan dan kekacauan yang melanda wilayah tersebut. Meski sebagian dari Gereja Santo Porphyrius masih berfungsi, mayoritas umat Kristen di Gaza berupaya mencari perlindungan dengan mendatangi gereja-gereja lain, termasuk Gereja Katolik Keluarga Kudus yang terletak tidak jauh dari tempat terjadinya Israel serang Gereja.

Gereja Santo Porphyrius, tempat Suheil Saba berlindung, mengalami kerusakan parah akibat serangan rudal pada tanggal 19 Oktober. Berdasarkan keterangan saksi mata, insiden tersebut menyebabkan kematian 17 orang dan melukai puluhan lainnya, termasuk anak-anak. Israel membantah menjadikan gereja sebagai target serangan, menyatakan bahwa kejadian tersebut adalah dampak dari serangan mereka terhadap infrastruktur Hamas di sekitar gereja.

Mona, seorang warga Gaza yang menjadi korban, menggambarkan serangan rudal tanpa peringatan yang menghasilkan debu tebal, menyulitkan orang untuk melihat apa pun setelah serangan itu. Foto-foto yang beredar menunjukkan bayi yang tertidur nyenyak di tengah reruntuhan, meskipun belum dapat dipastikan apakah bayi tersebut selamat atau menjadi korban serangan.

Umat Kristen di Jalur Gaza, yang berjumlah sekitar 900 orang, berusaha mencari perlindungan dengan mendatangi dua gereja utama, yakni Gereja Katolik Keluarga Kudus dan Gereja Santo Porphyrius. Meskipun sebagian penduduk Gaza telah meninggalkan rumah mereka setelah peringatan militer Israel untuk evakuasi, ratusan anggota komunitas Kristen tetap bertahan.

Komunitas Kristiani di Gaza memiliki sejarah yang panjang, beberapa di antaranya datang setelah peristiwa Nakba pada tahun 1948. Nakba adalah masa exodus massal warga Palestina selama perang Arab-Israel. Sebagian lagi dapat melacak akar mereka hingga ribuan tahun lalu, dengan umat Kristiani yang telah tinggal di tanah ini sejak tahun 402.

Elias Jarada, seorang anggota Dewan Gereja Ortodoks Arab, mengungkapkan bahwa jejak keberadaan umat Kristiani di Gaza dapat dilacak hingga sebelum tahun 400. Meskipun demikian, ukuran komunitas mereka yang kecil menjadikan mereka rentan terhadap dampak konflik, seperti yang terlihat pada serangan militer tanggal 26 Oktober yang menyebabkan hilangnya hampir 2% dari jumlah anggota komunitas Kristiani di Gaza.

Pastor Joseph Assad, Wakil Presiden Patriarkat Latin di antara komunitas Katolik di Gaza, mencatat bahwa jumlah pengungsi di gerejanya mencapai sekitar 550 orang, yang melibatkan tidak hanya 60 orang dengan kebutuhan khusus, tetapi juga anak-anak yang berusia di bawah lima tahun. Kompleksitas situasi semakin meningkat setelah Gereja Santo Porphyrius menjadi sasaran serangan bom, menyebabkan sekitar 100 orang kehilangan tempat perlindungan yang sebelumnya mereka andalkan.

Israel mengklaim bahwa Israel serang Gereja merupakan serangan militer mereka yang bertujuan pada infrastruktur Hamas di sekitar rumah ibadat, bukan gereja itu sendiri. Namun, data Kementerian Kesehatan Palestina mencatat bahwa serangan Israel hingga 30 Oktober lalu menewaskan lebih dari 11.000 orang dan 4.000 lebih diantaranya adalah anak – anak

Masyarakat Gaza merasakan kemarahan dan ketidakadilan, tanpa merasa memiliki pilihan untuk hidup. Setelah Israel serang Gereja, Elias Jildeh, umat yang tinggal di paroki Latin, mengungkapkan bahwa mereka seolah-olah berada di hutan tanpa perlindungan. Dengan korban yang terus bertambah, pertanyaan tentang masa depan Gaza menjadi semakin mendalam. Apa yang akan terjadi selanjutnya, dan apakah umat Kristiani di Gaza harus terus menghadapi pilihan sulit antara tinggal dan hidup dalam ketidakpastian atau mengungsi untuk mencari kehidupan yang lebih aman?

Berita Terkait

Elia Myron Itu Siapa? Berikut Deretan Kontroversinya
Film Propaganda Israel Gal Gadot Sepi, Ini Alasannya
KPU Hapus Debat Cawapres, Jadi Kontroversi
Kronologi Bus Rombongan SMK Bojonegoro Alami Kecelakaan di Tol Pasuruan
Ringkasan Drama Pemenang MasterChef Season 11 yang Ramai Diperbincangkan
Israel Bom Gedung Arsip Gaza, Penghapusan Sejarah Palestina?
Banjir Jakarta Timur Capai Ketinggian Hampir 2 Meter?
Kiki Fatmala Meninggal Dunia Berjuang Lawan Komplikasi Kanker

Berita Terkait

Minggu, 19 November 2023 - 23:40

Update IHSG Hari Ini, Akhir Tahun Menunjukkan Penguatan

Rabu, 15 November 2023 - 20:36

Ramai Digunakan, Penumpang Kereta Cepat Whoosh Capai 21 Ribu Dalam Sehari

Rabu, 15 November 2023 - 16:00

Laporan Anggaran BI 2023 Diperkirakan Surplus Rp 27,19 T

Sabtu, 11 November 2023 - 01:34

Rupiah Menguat, Harga Dollar AS Hari Ini Sentuh Rp15.689

Minggu, 5 November 2023 - 10:35

Honorer Resmi Dihapus Usai Jokowi Tandatangani UU ASN 2023

Minggu, 5 November 2023 - 10:29

Jokowi Putuskan Untuk Rem Investasi Asing di IKN, Baik atau Buruk?

Minggu, 29 Oktober 2023 - 09:50

Cara Mengatur Anggaran Bulanan Untuk Mencapai Tujuan Keuangan

Minggu, 29 Oktober 2023 - 09:46

Tips Mengelola Keuangan Pribadi yang Efektif

Berita Terbaru

Kesehatan

Pasti Pulas, Begini Cara Agar Tidur Nyenyak

Senin, 4 Des 2023 - 21:06

Teknologi

Tips Melindungi Data Pribadi Dari Aplikasi Sosial Media

Senin, 4 Des 2023 - 20:56