Pulau Rempang, Batam, mengalami gejolak hebat awalnya pada Kamis (6/8) siang. Petugas dari berbagai lembaga, termasuk Polri, TNI, Ditpam Badan Pengusahaan (BP) Batam, dan Satpol PP, terlibat dalam bentrokan dengan warga Rempang. Bentrokan ini terjadi ketika pihak Badan Pengusahaan (BP) Batam melakukan pengukuran untuk pengembangan kawasan tersebut. Kericuhan Pulau Rempang pecah begitu petugas gabungan tiba di lokasi. Awalnya, warga melakukan demonstrasi menolak rencana pengembangan kawasan yang dianggap sebagai kampung adat masyarakat Melayu. Cekcok antara warga dan aparat keamanan memicu penggunaan gas air mata. Situasi semakin tidak kondusif, dengan warga berlarian dan dorong-mendorong antara petugas dan warga.
Sekolah juga terkena dampak. Beberapa siswa dari SMP Negeri 22 dilaporkan dibawa ke rumah sakit karena terkena gas air mata yang terbawa angin dari lokasi kericuhan Pulau Rempang itu. Kepala Sekolah Muhammad Nazib menyampaikan, “Ada belasan siswa yang saya tahu dibawa oleh ambulans ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan. Gas air mata itu tadi terbawa angin karena keributan di sekitar sekolah kami. “Rekaman video dari lokasi kericuhan di Pulau Rempang juga menunjukkan beberapa warga terluka, sementara petugas keamanan menangkap beberapa orang. Hingga malam hari, situasi baru kembali kondusif.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Tanggung Jawab Pemerintah terhadap Kericuhan Pulau Rempang
Sebelum bentrokan terjadi, Badan Pengusahaan (BP) Batam telah berkomitmen untuk menyediakan lahan bagi warga Rempang yang akan direlokasi untuk kepentingan pengembangan Kawasan Rempang Eco City. Dia juga menjelaskan bahwa selama hunian baru belum selesai, masyarakat Rempang Galang akan mendapatkan hunian sementara serta biaya hidup yang akan ditanggung setiap bulan.
Dalam rangka memastikan kenyamanan dan keberlangsungan hidup selama masa relokasi sementara, pemerintah telah menetapkan biaya hidup sebesar Rp 1.034.636 untuk setiap individu dalam setiap kartu keluarga. Biaya ini mencakup kebutuhan dasar seperti air, listrik, dan kebutuhan lainnya, sehingga warga dapat tetap menjalani kehidupan sehari-hari dengan nyaman.
Bagi mereka yang memilih untuk tinggal di tempat saudara atau memilih hunian di luar dari yang telah disediakan, akan ada tambahan biaya sewa sekitar Rp 1 juta per bulan. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa semua warga dapat memilih opsi yang paling sesuai dengan kebutuhan dan preferensi mereka selama periode relokasi ini.
Selain itu, hunian baru yang telah dipersiapkan adalah rumah tipe 45 senilai Rp 120 juta, dengan luas tanah maksimal mencapai 500 m2. Lokasi hunian ini akan diberi nama “Kampung Pengembangan Nelayan Maritime City” dan diharapkan akan menjadi contoh kampung nelayan modern dan maju di Indonesia. Di sini, fasilitas pendidikan lengkap dari tingkat SD hingga SMA akan tersedia, bersama dengan pusat layanan kesehatan yang memadai. Tak hanya itu, fasilitas olahraga dan sosial juga akan menjadi bagian dari lingkungan ini, memberikan warga akses ke berbagai kegiatan dan sarana hiburan.
Tidak lupa, fasilitas ibadah seperti masjid dan gereja juga akan disediakan, memenuhi kebutuhan rohaniah warga selama mereka tinggal di kampung baru ini. Selain itu, terdapat fasilitas tempat pemakaman umum yang tertata dengan baik, serta dermaga untuk kapal-kapal nelayan dan pusat transit.
Proses pembangunan hunian baru ini dijadwalkan akan berlangsung selama 12 bulan setelah pematangan lahan, dengan harapan tahap pertama akan selesai pada Agustus 2024. Hal ini menunjukkan komitmen pemerintah untuk memastikan relokasi warga Rempang berjalan lancar dan memberikan lingkungan yang nyaman dan fungsional bagi seluruh komunitas. Pembangunan hunian baru ini akan dilakukan selama 12 bulan setelah pematangan lahan, dengan target penyelesaian tahap pertama pada Agustus 2024.
Mengapa Terjadi Bentrokan Antar Warga Rempang dan Aparat Kepolisian?
Menurut Pengamat Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, pemerintah dan DPR harus membentuk tim independen untuk menyelidiki kasus kericuhan Pulau Rempang. Ia mengkritik kekerasan yang terjadi dan mendesak pemerintah serta DPR untuk menjelaskan secara transparan kepada publik mengenai peristiwa ini.
Bambang menegaskan bahwa kekerasan oleh aparat negara terhadap masyarakat harus dihentikan. Perbedaan pendapat mengenai keputusan pemerintah tidak bisa diselesaikan dengan kekerasan yang melukai hati nurani masyarakat. Ia juga menyoroti bahwa kepolisian seharusnya memahami peraturan yang mereka buat sendiri, termasuk dalam hal penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian. Karena itu, Bambang mendesak pemerintah dan DPR untuk menyelidiki insiden bentrokan ini, agar kekerasan yang diduga dilakukan aparat di Pulau Rempang tidak terulang.
Kapolri Kirimkan Personel Tambahan Upaya Atasi Kericuhan Pulau Rempang yang Semakin Memanas
Sebagai respons terhadap kericuhan di Pulau Rempang di depan Kantor BP Batam, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengumumkan pengiriman personel tambahan ke wilayah Rempang, Batam. Sebanyak 400 personel dari empat Satuan Setingkat Kompi (SSK) dikerahkan untuk mengamankan mediasi dan dialog terkait proses relokasi warga Rempang.
Sigit menyebutkan jika penambahan kekuatan personel saat ini terus dilakukan, dengan penambahan sekitar 4 SSK hingga hari ini, dan akan terus dilakukan disesuaikan dengan eskalasi ancaman yang terjadi. Ia juga menyebut bahwa penambahan personel dilakukan karena dialog antara BP Batam dan masyarakat pada Senin (11/9) berakhir ricuh dan tidak ada titik temu.
Aparat di lokasi mencoba mengamankan kantor BP Batam dengan membuat barikade, namun beberapa petugas tetap mengalami luka-luka dan sebagian gedung mengalami kerusakan. Dengan penambahan personel ini, diharapkan situasi kericuhan Pulau Rempang dapat lebih terkendali dan dialog antara pemerintah dan masyarakat dapat berjalan dengan lebih lancar.