Putusan MKMK (Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi) digelar pada hari ini, Selasa, 07 November 2023. Putusan ini tentang dugaan pelanggaran kode etik yang menimpa Anwar Usman yang menduduki jabatan sebagai Ketua MK dan beberapa hakim konstitusi lainnya. Proses pemeriksaan yang telah berlangsung intensif sejak tanggal 31 Oktober akan segera mencapai titik penting dengan diumumkannya putusan dari MKMK.
Dalam pemeriksaan tersebut, berbagai aspek etika dan perilaku dari para hakim konstitusi telah menjadi fokus utama, termasuk juga klarifikasi terkait alasan ketidakhadiran dalam sidang serta isu-isu seputar Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). Dan dengan fokus utama keputusan MK yang memberikan izin kepada kepala daerah yang berusia di bawah 40 tahun untuk mengikuti pemilihan presiden. Keputusan tersebut telah menjadi sorotan publik dan memicu berbagai diskusi mengenai batasan usia calon kepala daerah dalam konteks pilpres. Hal ini diungkapkan oleh Ketua MKMK, Jimly Asshiddiqie, yang menegaskan bahwa sidang hanya akan menangani persoalan etik hakim dan tidak dapat mengubah keputusan MK.
Putusan MKMK Sebelumnya Telah Melewati Beberapa Kali Sidang
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Pemeriksaan terhadap kasus ini telah dilakukan secara maraton sejak tanggal 31 Oktober. Pada hari tersebut, MKMK menggelar sidang terhadap Ketua MK Anwar Usman, hakim Arief Hidayat, dan hakim Enny Nurbaningsih. Kemudian, pada hari Rabu, tanggal 1 November, MKMK mengadakan sidang terhadap tiga hakim konstitusi lainnya yaitu Saldi Isra, Manahan M.P. Sitompul, dan Suhartoyo. Pada hari Kamis, tanggal 2 November, giliran hakim konstitusi Wahiduddin Adams, Daniel Yusmic, dan Guntur Hamzah yang diperiksa.
Pada hari Jumat, tanggal 3 November, MKMK kembali memeriksa Anwar Usman. Anwar menjadi satu-satunya hakim konstitusi yang diperiksa dua kali dalam proses ini. Jimly menyebut bahwa Anwar diperiksa dua kali karena jumlah laporan terhadapnya paling banyak dari seluruh hakim konstitusi yang terlibat.
Jimly, dalam pernyataannya di Gedung MK, Jakarta, pada hari Kamis, menjelaskan bahwa Ketua MK Anwar Usman diundang untuk diperiksa lebih dari sekali karena ia merupakan hakim konstitusi yang paling banyak dilaporkan. Sehingga, satu kali pemeriksaan tidaklah mencukupi. Menurutnya, Anwar adalah yang pertama dan yang terakhir dalam serangkaian pemeriksaan karena jabatannya sebagai ketua MK. Jimly juga menekankan pentingnya memberikan kesempatan kepada Anwar untuk memberikan klarifikasi terkait laporan-laporan yang sangat ekstrem.
Dalam pemeriksaan yang telah dilakukan, terungkap bahwa lebih banyak fokus pada proses Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). Beberapa hakim konstitusi dan Jimly menyatakan bahwa diskusi lebih banyak berpusat pada alasan Anwar Usman absen dalam tiga perkara. Ada dua alasan yang berbeda terkait ketidakhadiran Anwar. Pertama, alasan menghindari konflik kepentingan, dan kedua, alasan sakit. Jimly juga menduga bahwa salah satu dari alasan tersebut mungkin tidak benar. Hal ini mencerminkan bahwa pemeriksaan lebih menekankan pada aspek prosedural dan etika dalam pelaksanaan tugas hakim konstitusi.
Tanggapan Politisi Soal Putusan MKMK
Beberapa politisi juga memberikan komentar terkait kasus ini. Deputi Hukum Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar Pranowo-Mahfud MD, Todung Mulya Lubis, meminta MKMK untuk bersikap tegas dalam mengambil keputusan terhadap para hakim Konstitusi yang menyidangkan putusan MK Nomor 90/PUU-XXI//2023. Menurutnya, untuk memulihkan wibawa MK, MKMK bisa memutuskan untuk memberhentikan Ketua MK Anwar Usman dengan tidak hormat.
Sementara itu, di sisi lain, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD menyampaikan harapannya bahwa putusan MKMK diharapkan dapat memberikan keputusan yang paling tepat dan adil. Dengan pertimbangan seksama terhadap bukti-bukti dan argumen-argumen yang disajikan, MKMK memiliki potensi besar untuk memberikan penilaian yang sesuai dengan standar etika yang diharapkan dari hakim konstitusi. Beliau juga mengajak masyarakat untuk bersabar dalam menantikan putusan yang akan diambil oleh MKMK. Mahfud sangat memahami pentingnya keputusan ini dalam menjaga integritas dan otoritas lembaga peradilan serta memastikan bahwa proses hukum berjalan dengan adil dan transparan.
Seiring dengan perkembangan kasus ini, mantan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), I Dewa Gede Palguna, secara tegas menegaskan bahwa putusan yang nantinya dikeluarkan oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) dalam ranah etika dan perilaku hakim tidak akan memiliki dampak atau pengaruh terhadap putusan MK yang telah dikeluarkan terkait kasus Nomor 90. Ia menyampaikan pendapatnya bahwa MKMK hanya memiliki kewenangan dalam mengadili pelanggaran etika hakim, dan oleh karena itu, tidak memiliki kewenangan untuk mengubah atau membatalkan putusan yang telah diberikan oleh MK. Dengan kata lain, putusan MKMK hanya akan berlaku untuk hakim yang terbukti melanggar etika dan pedoman perilaku, sedangkan putusan MK yang berdampak pada kasus Nomor 90 akan tetap berlaku dan tidak terpengaruh oleh hasil dari proses etik yang sedang berlangsung.
Dalam konteks ini, Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Dr. H. M Hidayat Nur Wahid, MA, mengungkapkan harapannya bahwa putusan yang akan diambil oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) dapat memiliki dampak positif dalam menyelamatkan marwah kehidupan berkonstitusi dan mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan yang bertugas mengawal pelaksanaan Konstitusi. HNW juga tidak menyembunyikan kekecewaannya terhadap putusan sebelumnya yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi terkait batasan usia calon wakil presiden, yang dianggapnya memberikan keuntungan bagi keponakan dari Ketua Mahkamah Konstitusi.
Oleh karena itu, ia berharap bahwa putusan MKMK dapat memperbaiki pandangan masyarakat terhadap MK sebagai lembaga yang independen dan netral dalam menjalankan tugasnya. Dengan demikian, diharapkan integritas dan otoritas MK dapat dipulihkan sehingga masyarakat dapat memiliki keyakinan yang kuat terhadap keadilan dan ketegasan lembaga peradilan tersebut.