Kali ini Kita akan membahas review film Budi Pekerti karya Wregas Bhanuteja. Wregas kembali membuktikan kepiawaiannya sebagai pencerita ulung melalui karya terbarunya, Budi Pekerti. Film Budi Pekerti sukses menggambarkan konflik yang sangat relevan dengan kehidupan masyarakat saat ini.
Dalam film ini, kita menyaksikan bagaimana media sosial dapat menghancurkan kehidupan seorang guru bernama Bu Prani beserta keluarganya hanya melalui video singkat berdurasi 20 detik. Masalah-masalah yang dihadapi dalam film ini disajikan dengan sangat realistis, humanis, dan mampu membangkitkan emosi yang mendalam.
Review Film Budi Pekerti: Mengangkat Tema Kekeluargaan
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Kisah ini berkisah tentang Prani (Sha Ine Febriyanti), seorang guru BK di sebuah SMP di Yogyakarta, yang tiba-tiba menjadi viral karena sebuah kesalahan kecil yang tak sengaja dilakukannya. Dengan kekuatan media sosial yang begitu dahsyat, citra Prani hancur dalam sekejap mata, dan ironisnya, kehancuran tersebut juga menyeret keluarganya ke dalam pusaran masalah tersebut. Dalam upaya memulihkan nama baik ibu mereka, anak-anak Prani, Tita yang diperankan oleh Prilly Latuconsina, dan Muklas yang diperankan oleh Angga Yunanda, melakukan segala cara yang mereka mampu lakukan.
Namun, kompleksitas situasi semakin bertambah karena mereka harus melakukannya tanpa sepengetahuan ayah mereka, Didit yang diperankan oleh Dwi Sasono. Hal ini menjadi tantangan berat karena Didit juga mengidap bipolar, sehingga membutuhkan pemahaman dan dukungan khusus dalam menghadapi situasi yang rumit ini. Profesi yang semula dianggap mulia dan membanggakan sebagai seorang guru BK bagi Prani, tiba-tiba berubah menjadi pemandangan yang menyakitkan.
Pendekatan yang diambil oleh Bu Prani dalam mendidik murid-muridnya juga mencuri hati penonton. Alih-alih memberikan hukuman, ia memberikan mereka ‘refleksi’. Film ini berhasil membuat penonton berpikir ulang tentang cara mereka bersikap di ruang publik, dan bagaimana mereka menggunakan media sosial.
Review Film Budi Pekerti: Berlatar Yogyakarta
Wregas Bhanuteja memilih Yogyakarta sebagai latar cerita, bukan hanya untuk motif pemasaran semata. Ia memanfaatkan kenangan masa kecilnya di kota tersebut dan menggabungkannya dengan referensi masa kini. Hasilnya sangat memuaskan. Latar ini bukan hanya menjadi latar belakang, tetapi juga menghidupkan cerita dengan kuat, baik dari segi narasi maupun visual. Budi Pekerti terasa autentik dan nyata, menunjukkan kesungguhan Wregas dalam merawat akurasi latar dan suasana dengan penuh teliti.
Keputusan untuk memasukkan elemen-elemen lokal juga memberikan film ini nuansa yang kental. Keluarga Bu Prani dan lingkungannya terasa begitu terintegrasi dalam cerita.
Film ini memperlihatkan bahwa sebagian besar dialog di dalamnya disampaikan dalam bahasa Jawa, dan menariknya, hal ini dilakukan dengan sangat lancar oleh seluruh karakter yang terlibat. Keberhasilan dalam menghadirkan penggunaan bahasa Jawa yang autentik dalam situasi dan karakter yang berbeda menunjukkan betapa telitinya Wregas Bhanuteja dalam menentukan bahasa dan aksen yang tepat untuk setiap momen dalam cerita. Hal ini tidak hanya menambah nuansa lokal yang kental, tetapi juga memberikan kedalaman karakter yang lebih dalam, serta memperkaya pengalaman menonton bagi penonton yang mungkin memiliki latar belakang bahasa dan budaya yang beragam.
Review film Budi Pekerti dari sisi pemain. Para pemain film Budi Pekerti memang patut diacungi jempol. Sha Ine Febriyanti berhasil menghidupkan karakter Bu Prani dengan penuh emosi, sementara Dwi Sasono sukses menggambarkan kondisi seseorang yang mengidap bipolar. Prilly Latuconsina dan Angga Yunanda juga mampu menampilkan perasaan gundah karakter mereka masing-masing dengan sangat baik. Angga Yunanda dalam peran Muklas tampil begitu autentik dengan desain karakter yang nyentrik.
Meskipun menonjolkan aspek lokal dengan latar Yogyakarta yang autentik, “Budi Pekerti” juga berhasil menyentuh isu-isu universal yang memiliki relevansi bagi semua orang. Film ini menjadi pengingat yang kuat, bahwa jejak digital yang kita tinggalkan di dunia maya memiliki potensi dampak yang besar terhadap kehidupan orang lain, bahkan hingga melibatkan anggota keluarganya. Hal ini memunculkan pertanyaan penting tentang tanggung jawab kita sebagai pengguna media sosial dan bagaimana kita sebaiknya memanfaatkannya dengan bijak, menghindari penyebaran informasi palsu atau menghakimi tanpa memahami konteksnya secara menyeluruh.
Dengan demikian, “Budi Pekerti” tidak hanya sekedar sebuah karya seni, tetapi juga menjadi refleksi mendalam tentang era digital dan bagaimana kita dapat berkontribusi dalam menciptakan lingkungan online yang lebih positif dan berempati.
Kesimpulan review film Budi Pekerti ini adalah dengan kepiawaian dalam menyajikan narasi yang mendalam dan menggugah, film “Budi Pekerti” mampu mengkomunikasikan pesan-pesan penting mengenai dedikasi seorang guru, dampak besar media sosial dan kegiatan aktivis, serta mengkritisi popularitas yang seringkali hanya bersifat sementara di dunia maya. Selain itu, eksplorasi visual yang dilakukan oleh Wregas Bhanuteja juga turut memberikan nilai tambah yang besar bagi keseluruhan pengalaman menonton film ini. Dengan memanfaatkan berbagai elemen visual seperti pencahayaan yang cerdas, pemilihan lokasi yang tepat, dan penggunaan simbolisme yang kuat, Wregas mampu memperkaya setiap adegan dengan makna mendalam. Ini memberikan dimensi baru bagi penonton, mengajak mereka untuk lebih mendalami dan meresapi setiap momen dalam cerita.
Secara keseluruhan dari review film Budi Pekerti adalah karya yang brilian dari Wregas Bhanuteja. Film ini tidak hanya memukau dari segi cerita dan akting, tetapi juga menyampaikan pesan-pesan penting dengan sangat baik. Setelah menonton film ini, penonton akan diingatkan akan kekuatan dan dampak dari perbuatan di dunia digital, serta pentingnya empati dan penghormatan terhadap sesama. Budi Pekerti adalah film yang patut untuk ditonton dan diperbincangkan oleh semua kalangan.