Rupiah mengalami pelemahan terhadap dolar Amerika Serikat (AS) setelah Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk menahan suku bunganya. Hal ini terjadi seiring dengan hasil Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (RDG BI), yang dilansir dari Refinitiv, di mana rupiah merespon dengan cepat. Mata uang ini berada di angka Rp15.820/US$ dan bahkan sempat kembali ke level psikologis Rp15.800/US$. Namun, terjadi pelemahan pada hari itu (19/20/2023) yang menyentuh titik terlemahnya, yaitu Rp15.853/US$. Rupiah melemah sebesar 1,21% terhadap dolar AS selama pekan ini, yang berarti mengalami pelemahan selama tujuh minggu berturut-turut. Pada akhir perdagangan Jumat (20/10/2023), rupiah turun menjadi Rp15.870/US$ atau mengalami depresiasi sebesar 0,38%.
Bank Indonesia (BI) pada bulan Oktober 2023 memutuskan untuk menaikkan suku bunga menjadi enam persen. Salah satu alasan utamanya adalah untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah yang terus melemah. Yusuf Rendy Manilet, seorang ekonom dari Center of Reform on Economic (CORE), mengatakan bahwa jika rupiah melemah terus menerus dan bahkan mencapai Rp 16 ribu per dolar AS, maka akan ada beberapa dampak yang perlu diwaspadai.
Akibat Jika Rupiah Melemah
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut Yusuf seorang ekonom dari Center of Reform on Economic (CORE), jika hal itu terjadi, harga barang impor berpotensi menjadi lebih mahal. Hal ini tentu tidak menguntungkan terutama bagi pelaku usaha yang bahan bakunya sangat bergantung pada impor dari luar. Yusuf juga menjelaskan bahwa jika pelaku usaha masih bisa memperkecil margin keuntungan tanpa harus menaikkan harga, maka dampak pada masyarakat akan relatif terbatas. Namun, jika kenaikan nilai atau harga barang impor sangat tinggi dan memaksa para pelaku usaha yang melakukan impor untuk tidak dapat mengambil opsi memperkecil margin keuntungan, maka ini akan berdampak pada harga.
“Pengusaha akan memilih opsi lain yaitu menaikkan harga jual produk mereka,” ucap Yusuf. Oleh karena itu, Yusuf memproyeksikan bahwa beberapa produk akan mengalami peningkatan harga jika pelaku usaha mengambil opsi tersebut. Terlebih lagi jika pelemahan nilai tukar mencapai level Rp 16 ribu per dolar AS dalam waktu yang tidak sebentar.
Meskipun demikian, Yusuf berpendapat bahwa Bank Indonesia tidak akan membiarkan rupiah melemah atau depresiasi menyentuh atau bahkan melebihi Rp 16 ribu per dolar AS. “Karena hal ini tentu akan berdampak pada potensi kenaikan inflasi domestik atau imported inflation,” ujar Yusuf. Yusuf memperkirakan bahwa BI akan melakukan intervensi jika tingkat depresiasi rupiah sudah menyentuh Rp 16 ribu per dolar AS atau lebih tinggi, terutama jika hal itu terjadi dalam periode waktu yang tidak sebentar.
Yusuf menjelaskan bahwa ini tidak hanya merupakan perubahan nilai tukar dalam periode tertentu yang dipengaruhi oleh sentimen pasar keuangan. Sebelumnya, pada tanggal 19 Oktober 2023, BI telah memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) menjadi enam persen. Selain itu, BI juga meningkatkan suku bunga deposit facility sebesar 25 bps menjadi 5,25 persen dan suku bunga lending facility juga naik menjadi 6,75 persen.
Salah satu alasan kenaikan suku bunga Bank Indonesia hari ini adalah meningkatnya tensi geopolitik, yang membuat harga minyak tetap tinggi dan mengakibatkan harga pangan juga tinggi. Akibatnya, inflasi sulit untuk ditekan dan suku bunga perlu ditingkatkan.
Tidak hanya menaikkan suku bunga, Bank Indonesia juga akan merilis instrumen investasi baru di pertengahan November 2023, yaitu Sekuritas Valas Bank Indonesia (SVBI) dan Sukuk Valas Bank Indonesia (SUVBI). Langkah ini bertujuan untuk menarik modal asing ke Indonesia yang memiliki pasar progresif selain Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).
Rupiah melemah terjadi akibat berbagai faktor, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Dari AS, terlihat Ketua bank sentral AS (The Fed) Jerome Powell menegaskan bahwa pada pertemuan November ini, suku bunga akan tetap di kisaran 5,25-5,50%. Sementara pada pertemuan Desember mendatang, masih ada potensi bagi The Fed untuk menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin (bps).
Tambahan dari sikap “higher for longer” terkait suku bunga di AS, ini membuat yield obligasi, baik tenor pendek maupun tenor panjang, semakin tinggi dan menarik bagi para investor. Akibatnya, aliran modal ke AS memberikan tekanan pada pasar keuangan negara-negara lain, termasuk Indonesia sebagai emerging market.
Selain itu, di awal pekan ini juga telah dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) perihal neraca dagang beserta ekspor dan impor Indonesia. Tercatat neraca dagang masih surplus bahkan lebih tinggi dibandingkan periode sebelumnya, namun impor Indonesia masih cukup rendah yang berarti konsumsi domestik masih belum pulih sepenuhnya.
Rupiah melemah terhadap dolar AS disebabkan oleh berbagai faktor, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Bank Indonesia menaikkan suku bunga sebagai upaya untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Hal ini juga berdampak pada kenaikan harga barang impor, yang bisa mengakibatkan kenaikan harga produk tertentu. Meskipun begitu, Bank Indonesia bertekad untuk mencegah depresiasi rupiah yang lebih dalam dan menjaga inflasi sesuai target yang ditetapkan. Selain itu, upaya untuk menarik modal asing ke Indonesia dilakukan dengan menerbitkan instrumen baru seperti Sekuritas Valas Bank Indonesia (SVBI) dan Sukuk Valas Bank Indonesia (SUVBI). Semua langkah ini diambil untuk menjaga stabilitas ekonomi nasional di tengah ketidakpastian global.