Konflik di Jalur Gaza, Palestina, telah mencapai titik eskalasi yang mengkhawatirkan. Sejak 7 Oktober lalu, Euro-Med Human Rights Monitor, lembaga pemantau hak asasi manusia Eropa, melaporkan bahwa lebih dari 25.000 ton bahan peledak telah dilemparkan dalam serangan Israel ke Gaza. Jumlah ini setara dengan dua kali lipat dari bahan peledak yang dihasilkan oleh bom nuklir Little Boy yang dilepaskan oleh Amerika Serikat di Hiroshima selama Perang Dunia II, yang hanya mencapai 15.000 ton.
Penggunaan senjata yang lebih dahsyat ini menyebabkan langit malam Gaza diterangi oleh kilatan rudal, mengakibatkan kematian dan kehancuran bagi 2,3 juta penduduknya. Tidak hanya pada malam hari, tetapi siang hari pun langit biru Gaza terus dipenuhi oleh kepulan asap dari rumah-rumah yang telah diratakan oleh serangan Israel.
Serangan Israel Ke Gaza Hancurkan 222.000 Tempat Tinggal
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam perbandingan, bom nuklir Little Boy yang dijatuhkan di Hiroshima mampu menghasilkan efek penghancuran dalam radius satu mil atau sekitar 1,6 kilometer. Menurut Al Jazeera, video citra satelit memperlihatkan bahwa gedung-gedung di Gaza hancur lebur akibat serangan Israel menggunakan bom pintar dan rudal berpemandu presisi. Elijah Magnier, seorang analis militer, mengonfirmasi bahwa senjata-senjata tersebut dipergunakan untuk menyerang infrastruktur Hamas dengan akurasi tinggi, tanpa menimbulkan kerusakan yang tidak proporsional.
Namun, dampak serangan di Gaza tidak hanya terbatas pada kerusakan fisik bangunan semata. Informasi terbaru yang diperoleh dari PBB dan otoritas Palestina mengungkapkan bahwa serangan yang dilakukan oleh Israel telah mengakibatkan rusaknya 222.000 unit tempat tinggal dan di antaranya 40.000 unit mengalami kerusakan total (hancur).
Tidak hanya itu, fasilitas-fasilitas krusial seperti pendidikan, kesehatan, tempat ibadah, ambulans, dan bahkan toko roti turut menjadi korban serangan ini. Dalam detailnya, tercatat bahwa 278 fasilitas pendidikan mengalami kerusakan, bersama dengan 270 fasilitas kesehatan, 69 tempat ibadah, 45 ambulans, dan 11 toko roti yang ikut mengalami kerusakan parah.
Serangan Israel ke Gaza ini menciptakan lingkup kerusakan yang jauh lebih luas, mencakup seluruh infrastruktur dan layanan vital di Gaza, yang pada akhirnya memberikan dampak signifikan terhadap kehidupan sehari-hari penduduk di sana.
Pernyataan kontroversial yang diungkapkan oleh Menteri Warisan Israel, Amihay Eliyahu, yang secara terbuka menyatakan bahwa opsi penggunaan senjata nuklir di Gaza merupakan suatu kemungkinan yang tidak bisa diabaikan, mendapat reaksi keras dan akhirnya menyebabkan diskorsnya dari pemerintahan Benjamin Netanyahu. Meskipun klaim tersebut mendapat kecaman luas, pemerintah Israel dengan tegas membantahnya, menegaskan bahwa seluruh operasi militer yang mereka jalankan sesuai dengan standar tertinggi hukum internasional, dengan tujuan utama untuk menghindari melukai orang yang tidak bersalah.
Sejak dimulainya agresi Israel ke Gaza pada 7 Oktober, lebih dari 11.100 warga Palestina telah tewas, termasuk 4.609 anak-anak dan 3.100 wanita. Sedangkan, 28.200 orang dilaporkan mengalami luka-luka. Walaupun komunitas dan organisasi internasional telah secara berulang kali menyerukan gencatan senjata, namun hingga saat ini, desakan tersebut belum juga terlaksana. Situasi ini meninggalkan rakyat Gaza dalam ketidakpastian yang berkelanjutan dan terus-menerus dihadapkan pada bahaya yang tak kunjung mereda.
Sejak Serangan Israel Ke Gaza, Tidak Ada Tempat Yang Aman Di Gaza
Begitu banyak kehancuran terfokus di Gaza bagian utara dan selatan, tetapi zona yang diumumkan oleh Israel sebagai zona aman juga tidak terhindar dari dampaknya. Diperkirakan antara 800.000 hingga satu juta orang telah pindah ke selatan Jalur Gaza. Sementara itu, sekitar 350.000-400.000 orang masih berdomisili di wilayah utara Jalur Gaza.
Namun, kenyataannya di lapangan sangat sulit bagi mereka yang berada di rumah sakit, penyandang disabilitas, dan lansia yang tidak mampu beraktivitas. Serangan udara dilakukan tanpa pandang bulu, menargetkan sekolah, rumah sakit, dan bahkan “zona aman” yang ditetapkan oleh PBB. Dampak serangan Israel ke Gaza ini terlihat pada kerusakan jalan-jalan utama yang menjadi jalur utama warga sipil untuk melarikan diri, mencakup wilayah selatan Gaza seperti Deir el-Balah, Khan Younis, dan Rafah.
Dorongan Israel untuk “menghilangkan sepenuhnya” Hamas tampaknya bertentangan dengan kenyataan di lapangan, di mana yang terjadi adalah pemusnahan seluruh lingkungan, generasi warga Palestina, dan sarana kelangsungan hidup mereka. Analisis citra satelit menunjukkan bahwa hingga 18 persen bangunan di Jalur Gaza mengalami kerusakan antara 7 Oktober hingga 5 November.
Kerusakan yang diakibatkan oleh bom menjadi sangat signifikan. Bom seberat 2.000 pon yang digunakan oleh pasukan Israel, seperti yang terlihat di kamp pengungsi Jabalia pada 31 Oktober, telah menciptakan dua kawah tumbukan selebar 40 kaki (12 meter). Menurut Project on Defense Alternatives (PDA), bom seberat 500 pon dapat menimbulkan kerusakan parah dalam jarak 20 meter (65 kaki), sementara bom seberat 2.000 pon dapat meningkatkan radius kehancuran hingga 35 meter (115 kaki).
Mayoritas bom yang digunakan oleh Israel adalah produk Amerika Serikat, termasuk keluarga Mk 80 yang mencakup Joint Direct Attack Munitions (JDAM), bom berpemandu laser Paveway, dan bom berdiameter kecil (SDB). Selama minggu pertama perang Israel-Hamas, pemerintahan Amerika Serikat mengirimkan 1.800 perlengkapan JDAM, SDB, dan amunisi lainnya ke Israel, menunjukkan dukungan terhadap upaya mempertahankan hegemoni militer regional Israel di Timur Tengah.
Serangan Israel ke Gaza telah menelan banyak korban jiwa dan merusak infrastruktur yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Meskipun desakan untuk gencatan senjata terus bergema, situasi ini menunjukkan bahwa tanpa solusi politik yang jelas, konflik ini berpotensi terus berlanjut, meninggalkan dampak kemanusiaan yang mendalam di Jalur Gaza.