Pengungsi etnis Rohingya, yang berasal dari Myanmar, telah kembali memasuki wilayah perairan di Indonesia dengan menggunakan perahu sebagai sarana transportasi mereka. Suku Rohingya datang ke Aceh, terutama di kawasan Bireuen dan Aceh Utara. Mereka mencari perlindungan dan bantuan di tengah krisis kemanusiaan yang melanda komunitas mereka.
Informasi terkini menunjukkan bahwa sejumlah perahu yang membawa pengungsi Rohingya ini diprediksi masih akan melintasi perairan Indonesia, kemungkinan besar berasal dari negara-negara tetangga seperti Bangladesh dan Myanmar, memperkuat urgensi untuk memberikan respons kemanusiaan yang cepat dan efektif dalam mengatasi tantangan yang mereka hadapi.
Kondisi Semakin Memburuk, Sekelompok Suku Rohingya Datang Ke Aceh
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam merespons situasi ini, Ann Maymann, Kepala Perwakilan United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) Indonesia, dengan tegas menyampaikan keprihatinannya terhadap kondisi yang semakin memburuk. Dalam pernyataannya, ia mengungkapkan keyakinannya bahwa kemungkinan besar akan terjadi peningkatan jumlah perahu yang berangkat dari Bangladesh dan Myanmar menuju wilayah perairan Indonesia dalam waktu dekat.
Menurutnya, fenomena ini menandakan ketegangan dan krisis yang terus mendera masyarakat etnis Rohingya, yang tak henti-hentinya mencari keamanan dan perlindungan di tengah kondisi yang sangat sulit. Maymann menyoroti bahwa kebutuhan mendesak akan solusi dan bantuan kemanusiaan untuk menanggapi tantangan kompleks yang dihadapi oleh pengungsi Rohingya, yang terus mengambil risiko besar demi harapan mendapatkan solusi bagi masa depan yang lebih baik.
Dalam kondisi sulit, beberapa perahu yang membawa pengungsi Rohingya meminta pertolongan untuk mendarat di Bireuen dan Aceh Utara. Ann Maymann mendesak Pemerintah Indonesia untuk segera bertindak membantu proses pendaratan dan menyediakan bantuan penyelamatan jiwa kepada para pengungsi. Data UNHCR mengindikasikan bahwa sekitar 200 pengungsi Rohingya dalam keadaan membutuhkan makanan, air, dan perhatian medis, terutama perempuan dan anak-anak.
Suku Rohingya datang ke Aceh Mendapat Penolakan Warga Setempat
Walaupun begitu, kedatangan pengungsi Rohingya pada kali ini mendapat penolakan sebagian besar warga di Bireuen dan Aceh Utara. Miftach Tjut Adek, yang menjabat sebagai Panglima Laot Aceh, secara tegas menyampaikan bahwa masyarakat setempat menunjukkan sikap penolakan terhadap kedatangan para pengungsi tersebut, menciptakan dinamika yang tidak mudah dalam menerima mereka.
Pada satu hari, pengungsi tersebut bahkan mengalami penolakan dua kali, mencerminkan tingginya tingkat ketidaksetujuan di wilayah Bireuen dan Aceh Utara. Tidak hanya itu, namun warga setempat juga terlibat aktif dalam mendorong kapal yang membawa para pengungsi kembali ke laut, hal ini menunjukkan penolakan yang tegas dari warga setempat terhadap kedatangan Suku Rohingya
Miftach menekankan bahwa Pemerintah Pusat harus bertanggung jawab penuh terhadap situasi ini, mengingat daerah setempat kewalahan menanganinya. Meski masyarakat dan pemerintah kabupaten/kota serta provinsi telah berusaha maksimal, Pemerintah Pusat diharapkan turun tangan untuk menyelesaikan masalah ini secara menyeluruh.
Sebelumnya Suku Rohingya datang ke Aceh sudah beberapa kali. Pada 27 Maret 2023, 184 orang pengungsi dipaksa untuk berenang ke tepi pantai setelah diturunkan ditengah laut. Mereka berenang menuju bibir pantai setelah kapal yang membawa mereka melarikan diri. Pengalaman serupa juga terjadi pada 6 Maret 2020, ketika pengungsi Rohingya mendarat di Jangka.
Data dari United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) per 30 Juni 2023 mencatat bahwa sebanyak 882 orang pengungsi Rohingya sudah masuk wilayah Indonesia. Jumlah ini diperkirakan terus bertambah, dengan perkiraan 1000 orang lebih pengungsi Rohingya berusaha menuju wilayah Indonesia per 31 Agustus 2023.
Warga Tolak Suku Rohingya Karena Sebelumnya Menimbulkan Masalah
Kekhawatiran yang dirasakan oleh masyarakat terhadap Suku Rohingya datang ke Aceh nampaknya memiliki akar yang dalam dalam pengalaman masa lalu. Meskipun terdapat inisiatif baik dari sejumlah warga yang berupaya memberikan bantuan kemanusiaan dalam bentuk makanan, seperti beras dan mi instan, para pengungsi dengan tegas menolak bantuan tersebut dengan cara yang mencolok, yaitu dengan membuangnya ke laut. Tindakan ini menunjukkan suatu aspek yang lebih kompleks, di mana para pengungsi menyiratkan bahwa apa yang mereka butuhkan bukan hanya sekadar bantuan materiil, melainkan lebih kepada hak dan izin untuk dapat mendarat di daratan.
Keuchik Pulo Pineung Meunasah Dua/Kuala Pawon, Jangka, Mukhtar, mengungkapkan bahwa masyarakat menolak kedatangan imigran Rohingya karena khawatir dapat mendatangkan banyak masalah, merujuk pada pengalaman sebelumnya pada Maret 2020. Warga setempat tetap tidak memperbolehkan pengungsi untuk mendarat, meskipun telah diberikan bantuan, menggambarkan keteguhan sikap mereka dalam menolak kedatangan para pengungsi Rohingya ke wilayah mereka.
Situasi yang terjadi menjadi semakin kompleks seiring dengan Suku Rohingya datang ke Aceh, dan hal ini menuntut respons serta penanganan yang bijak dari berbagai pihak, termasuk pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat setempat. Pentingnya memastikan kesejahteraan dan keamanan para pengungsi Rohingya menjadi sorotan utama dalam penanganan krisis ini, sekaligus mempertimbangkan secara serius dampak sosial dan ekonomi yang mungkin timbul bagi wilayah yang bersedia menerima mereka.