Konflik dan ketegangan yang terus berlangsung tanpa henti antara Israel dan Palestina telah menciptakan pemandangan yang menyedihkan. Kedua belah pihak terus melancarkan aksi saling serang, menyebabkan kota-kota dan bangunan-bangunan penting hancur berantakan. Tak hanya itu, ratusan jiwa telah kehilangan nyawa mereka akibat dari eskalasi kekerasan ini. Tidak dapat dipungkiri bahwa suhu konflik antara Israel dan Palestina semakin memanas, dan penyebab perang Israel dan Palestina belum usai ternyata dipicu oleh berbagai faktor dan alasan yang kompleks.
Penyebabnya mulai dari klaim agama dan sejarah yang saling bersaing, pelanggaran terhadap hukum internasional, hingga minimnya dukungan dari bangsa-bangsa Arab, semuanya turut berperan dalam memperpanjang dan memperkeruh konflik ini.
Penyebab Perang Israel Palestina Adalah Hak Atas Tanah Yang Dianggap Suci Oleh Keduanya
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Palestina dan Israel terus terlibat dalam konflik yang belum kunjung usai. Perebutan hak atas tanah, terutama tanah suci, menjadi akar dari konflik ini. Tanah suci ini memiliki nilai historis dan keagamaan tinggi bagi umat Islam dan Yahudi. Hal ini memicu persaingan antara kedua pihak, karena di atasnya berdiri masjid Al Aqsa sebagai kiblat pertama umat Islam, sementara di bawahnya terdapat Tembok Ratapan yang sangat sakral bagi umat Yahudi.
Meskipun konflik ini telah berlangsung selama bertahun-tahun, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) belum dapat mengambil tindakan komprehensif dalam menangani kasus ini. Kepala Perwakilan PBB untuk Indonesia, Valerie Julliand, menjelaskan bahwa PBB mengalami kesulitan untuk mengintervensi suatu negara atas keputusan suara mereka. Hal ini karena tindakan PBB ditentukan oleh negara-negara anggota, dan jika tidak mendapat persetujuan dari negara-negara anggota, PBB tidak dapat melakukan intervensi.
Penyebab Perang Israel Palestina Tak Usai Karena Hak Veto
Tak hanya itu, Dewan Keamanan PBB juga memiliki peran yang sangat vital dalam penanganan konflik ini. Namun, kompleksitas timbul ketika Dewan Keamanan tidak mencapai kesepakatan terhadap resolusi yang diusulkan sebagai solusi dari permasalahan ini. Fenomena ini dikenal dengan istilah hak veto, di mana lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB (yakni Amerika Serikat, China, Inggris, Perancis, dan Rusia) memiliki keistimewaan untuk membatalkan resolusi yang telah diterima oleh mayoritas anggota lainnya. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya peran dan keputusan dari negara-negara pemegang hak veto dalam menentukan arah dan langkah-langkah penyelesaian konflik ini.
Keberadaan hak veto dalam Dewan Keamanan PBB telah menjadi sumber kritik tajam, karena seringkali dianggap sebagai alat yang disalahgunakan untuk memenuhi kepentingan negara-negara yang memegang hak tersebut. Dampak dari hal ini juga turut dirasakan dalam kesulitan yang dihadapi PBB dalam mengeluarkan resolusi yang dapat secara efektif mengatasi konflik Israel-Palestina. Meskipun Dewan Keamanan PBB telah melakukan upaya untuk menghasilkan resolusi yang berhubungan dengan konflik ini, namun seringkali usaha tersebut mengalami kegagalan, memperlihatkan betapa kompleksnya dinamika politik dan hukum internasional yang mempengaruhi proses penyelesaian konflik ini.
Salah satu contoh konkret dari upaya resolusi adalah Resolusi 1397 tahun 2002. Resolusi ini mengadvokasi untuk menghentikan kekerasan dan memulai proses perdamaian dengan tujuan mendirikan dua negara yang dapat hidup berdampingan di dalam batas yang diakui secara internasional. Namun, meskipun upaya terbaru datang dari Brasil untuk mengusulkan resolusi serupa, hasilnya tidak berbeda jauh. Amerika Serikat menolak usulan tersebut dengan menggunakan hak veto yang mereka miliki sebagai salah satu anggota tetap Dewan Keamanan PBB. Akibatnya, meskipun resolusi tersebut telah mendapat persetujuan dari sejumlah negara lainnya, pelaksanaannya terganjal oleh suara veto, hal ini dapat dikatakan bahwa hak veto menjadi penyebab perang Israel dan Palestina tak kunjung usai hingga saat ini.
Akar konflik penyebab perang Israel Palestina ini dapat ditelusuri hingga awal abad ke-20 ketika Palestina, yang pada saat itu adalah bagian dari Kesultanan Utsmaniyah, menjadi pusat perhatian dunia internasional. Pada masa itu, muncul ideologi nasionalisme yang menggugah semangat kemerdekaan di berbagai wilayah, termasuk Palestina. Yahudi dan Arab Palestina memiliki klaim atas tanah ini, yang menciptakan dasar konflik. Selama abad ke-20, pemukiman Yahudi di Palestina meningkat, terutama setelah Perang Dunia II. Konflik semakin memanas ketika Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memutuskan untuk membagi Palestina menjadi dua negara pada tahun 1947, yaitu negara Israel dan negara Palestina.
Keputusan ini memicu perang antara Arab dan Israel yang berujung pada pendirian negara Israel pada tahun 1948. Sejak itu, konflik terus berlanjut dengan serangkaian perang dan perselisihan yang mengakibatkan penderitaan bagi kedua belah pihak. Pemukiman ilegal Israel di wilayah Palestina juga menjadi sumber ketegangan yang tak kunjung reda. Ketegangan semakin memburuk dengan masalah hak-hak asasi manusia yang dilanggar, pembatasan gerak dan akses, serta kekerasan terus-menerus. Faktor-faktor inilah yang terus mempertahankan api konflik ini.
Untuk mengakhiri konflik ini, diperlukan upaya komprehensif dari seluruh komunitas internasional, termasuk negara-negara anggota PBB. Mereka harus mencari solusi yang adil dan berkelanjutan bagi kedua belah pihak untuk mengatasi penyebab perang Israel Palestina yang tak kunjung usai. Penyelesaian politik dan dialog antara Israel dan Palestina harus didorong, dengan memperhatikan aspirasi dan hak-hak kedua belah pihak. Dengan usaha bersama dan komitmen untuk mencari solusi damai, harapan untuk mengakhiri konflik Israel-Palestina masih ada. Dengan kerja sama global, mungkin suatu hari kita dapat melihat perdamaian dan keadilan merajai di wilayah yang selama ini dilanda konflik ini.