Pada Jumat, 13 Oktober 2023, militer Israel mengeluarkan ultimatum yang menggemparkan wilayah Gaza. Mereka meminta lebih dari 1 juta warga Palestina di Kota Gaza untuk meninggalkan kota tersebut dan berpindah ke wilayah selatan dalam waktu 24 jam. Ultimatum Israel ini dianggap sebagai tanda bahwa serangan darat Israel terhadap wilayah tersebut semakin mendekat.
Sejak beberapa hari terakhir, tank-tank militer Israel telah diposisikan di dekat perbatasan dengan Jalur Gaza. Bahkan, lebih dari 300.000 tentara cadangan telah dipanggil untuk mempersiapkan diri. Yoav Gallant, Menteri Pertahanan Israel, menyatakan “Sekarang adalah waktu untuk berperang,’ kata Menteri Pertahanan Israel.”
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Ultimatum Israel Sebagai Balasan Terhadap Serangan Hamas Yang Tiba Tiba
Latar belakang ultimatum ini adalah serangan mengejutkan yang dilakukan kelompok Hamas ke wilayah selatan Israel pada Sabtu, 7 Oktober 2023. Serangan itu menyebabkan lebih dari 1.300 warga Israel tewas, kebanyakan di antaranya adalah warga sipil. Selain itu, lebih dari 300 orang juga disandera sebagai akibat dari serangan tersebut.
Militer Israel menggambarkan situasi dengan tegas, “Warga sipil di kota Gaza, evakuasi diri kalian ke selatan demi keselamatan kalian dan keluarga kalian.” Ultimatum ini mencakup hampir separuh dari keseluruhan populasi di Jalur Gaza, sekitar 1,1 juta jiwa.
Pernyataan ini tidak hanya disampaikan kepada warga Palestina di Jalur Gaza, tetapi juga dikirimkan ke Markas Besar PBB. “Inas Hamdan, petugas pada badan pengungsi Palestina yang dikelola PBB di kota Gaza, mengatakan, ‘Ini kacau, tak seorang pun paham mengenai apa yang harus dilakukan.'”
Sikap PBB Terhadap Ultimatum Israel
Ultimatum ini juga menimbulkan kepanikan di kalangan staf badan-badan PBB dan organisasi internasional lainnya di wilayah utara Gaza. Pasalnya, belum ada kabar mengenai koridor kemanusiaan yang dapat memastikan keamanan warga saat mengungsi.
Dalam respons terhadap Ultimatum Israel ini, staf PBB di kota Gaza dan Gaza utara telah diperintahkan untuk segera mengungsi ke selatan, tepatnya ke Rafah. “PBB telah memindahkan pusat operasional dan staf internasional mereka ke wilayah selatan Gaza, termasuk Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA).” “Perserikatan Bangsa-Bangsa menganggap gerakan seperti itu tidak mungkin terjadi tanpa konsekuensi kemanusiaan yang buruk,” Pernyataan ini disampaikan oleh juru bicara PBB Stephane Dujarric pada Jumat, 13 Oktober 2023.
Seorang pejabat PBB lainnya mengungkapkan bahwa PBB saat ini sedang berupaya untuk mengklarifikasi ultimatum Israel kepada pejabat paling senior di Palestina. “Ini adalah sesuatu yang benar-benar belum pernah terjadi sebelumnya,” kata pejabat PBB yang tidak ingin namanya diungkap. Sementara itu, seorang pria berdiri di dekat bangunan yang runtuh dan terbakar akibat gempuran Israel di kota Gaza pada 11 Oktober 2023.
Namun, tantangan besar muncul ketika hampir tidak mungkin lebih dari 1 juta jiwa bergerak cepat dalam rentang waktu 24 jam untuk mengungsi ke selatan. Nebal Farsakh, juru bicara Palang Merah Palestina di kota Gaza, menyatakan kekhawatirannya. ” Dia berkata, “Lupakan makanan, lupakan listrik, lupakan bahan bakar. Yang penting adalah apakah Anda bisa keluar dan apakah Anda akan tetap hidup.”
Selanjutnya, dia menambahkan, “PBB sangat mendesak agar perintah semacam itu, jika memang ada, untuk segera dibatalkan guna menghindari tragedi yang sudah terjadi berubah menjadi situasi penuh malapetaka.” Di tengah kebingungan dan ketakutan warga Gaza, jalan-jalan di Gaza utara terlihat sepi. Kendaraan bermotor tak terlihat kecuali ambulans. Putusnya sambungan internet dan jaringan telepon semakin memperumit situasi. Sebagian besar warga belum mendengar perintah langsung dari tentara terkait evakuasi.
Dengan lebih dari 423.000 orang yang telah meninggalkan rumah mereka di Gaza, situasi ini semakin memprihatinkan. Presiden Mesir Abdel Fattah al-Sisi mengimbau warga Gaza agar tetap berada di tanah mereka, meskipun ada upaya dari Kairo untuk mengizinkan perjalanan aman bagi warga sipil yang ingin melarikan diri.
Sementara itu, Israel telah memutus pasokan air, makanan, dan listrik ke Gaza sebagai bagian dari pengepungan mereka. Mereka telah berjanji untuk tidak mengakhiri pengepungan tersebut sampai semua sandera dibebaskan. Ancaman dari Hamas juga menggema, bahwa mereka akan membunuh sandera jika Israel mengebom sasaran sipil di Gaza tanpa memberikan peringatan terlebih dahulu.
Situasi ini menciptakan atmosfer ketakutan dan keputusasaan di antara warga Gaza, baik di utara maupun selatan. Dengan perang yang telah berlangsung selama 15 tahun di wilayah pesisir tersebut, 2,4 juta orang yang tinggal di Gaza harus menghadapi kenyataan pahit ini.
Pengumuman ultimatum Israel ini juga menjadi peringatan serius akan kemungkinan serangan darat mereka ke Gaza. Benjamin Netanyahu, Perdana Menteri Israel, sebelumnya telah menyatakan tekadnya untuk “menghancurkan” Hamas dan telah mendeklarasikan perang terhadap kelompok tersebut. Dalam situasi yang penuh ketidakpastian ini, kita hanya bisa berharap agar ada solusi damai yang dapat mengakhiri pertumpahan darah dan penderitaan di wilayah ini. Semoga kedua belah pihak dapat mencari jalan tengah untuk mengakhiri konflik yang telah berlangsung terlalu lama ini.